Sabda Rasul shallallhu ‘alaihi
wasaalam :
“Malu dan Iman itu bergandengan
bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”
(HR. Al-Hakim).
*
Rasa
malu hati merupakan sebuah rasa hati (emosi) yang penting dalam evolusi manusia
(Haidt, J., & Keltner, D. (1999)
*
Rasa malu adalah sifat alami
setiap manusia. Ia akan muncul dengan sendirinya (secara alami) atau ketika
seseorang dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu yang mempengaruhi emosi.
Rasa
malu merupakan sebuah emosi yang unik. Pada umumnya, rasa
malu timbul sebagai ekspresi perasaan “kecil” . Hal ini bisa terjadi ketika
seseorang berhadapan dengan pihak yang status sosialnya dianggap lebih tinggi.
Selain
itu, rasa malu juga sering dikaitkan dengan ‘rasa penyesalan’, ‘rasa bersalah’
dan ‘perasaan dicemooh’. Perasaan bersalah
atau penyesalan terekspersikan sebagai rasa malu dikarenakan
kesadaran telah bersalah terkait dengan ‘rasa sedih’ oleh rasa penyesalan.
Puncak ekspose dari emosi ini adalah ‘pengakuan’ bahwa subyek telah melakukan
kesalahan. Pengakuan oleh subyek akan membuatnya terlepas dari “rasa malu hati”
tersebut . (Widen, S. C., Christy, A. M., Hewett, K., & Russel, J.
(2011).
Tentang ‘rasa malu’ dalam hubungannya
dengan dengan ‘perasaan bersalah’, beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia
bebrapa waktu terakhir rasanya menarik untuk dibahas.
MASIH ADAKAH RASA MALU DALAM DIRI KITA
?
1. MUNDUR DENGAN PEDE, DARI PADA -MALU- MENJADI BEBAN
Seperti
itu mungkin yang dirasakan oleh Andi Alifian Mallarangeng, Mantan Mentri Pemuda
dan Olahraga, sekaligus Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, setelah
ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait Kasus
Mega Proyek Hambalang (Jum’at, 7 Desember 2012)
Ironis
memang, sebelum kasus ini menjeratnya, mantan Juru Bicara Presiden SBY itu
pernah terlibat dalam sebuah iklan yang dibuat oleh Partai Demokrat dalam upaya
memerangi Korupsi.
“Katakan TIDAK! Untuk KORUPSI!”
Kira-kira
seperti itulah pesan yang ingin disampaikan oleh Bang Andi CS, termasuk Anggelina Sondakh, yang telah ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Dan
terbukti, meski banyak yang mengecam, tidak sedikit pula yang menyampaikan
simpati dan menyebut langkah itu sebagai tindakan ‘ksatria’
???
2.
SAYA
GANTENG. SAYA BUPATI. SAYA PUNYA DUIT BANYAK.
TIDAK PUNYA MALU. Begitulah bunyi salah satu poster yang dibawa warga Kabupaten Garut saat
melakukan unjuk rasa menuntut Bupatinya mundur.
Aceng
HM Fikri. Namanya belakangan ini sedemikian sering disebut, terkait peristiwa
nikah siri-kilatnya yang hanya berangsung 4 hari (16-19 Juli 2012) dengan gadis dibawah umur
berinisial FO.
Setelah
ulahnya diketahui publik, Orang Nomer 1 di Kabupaten Garut itu tidak lantas
merasa malu dan bersalah. Justru dalam salah satu wawancara dengan media,
Bupati berusia 47 tahun itu dengan rasa pede
tingkat tinggi mengatakan “… Saya ganteng… saya Bupati… saya punya duit
banyak….”
Tidak
hanya masyarakat Garut, Gubernur Jawa Barat, Menteri Dalam Negeri, sampai
Presiden pun menyampaikan kekesalannya pada sikap arogan dan ‘tidak tahu malu’
sang Bupati.
3. BIKIN KACAU, KALAU PUNYA MALU, MUNDUR SAJALAH!
Kacau. Itulah
kondisi sepakbola Indonesia saat ini. Tidak kunjung berprestasi, terancam
sanksi dari FIFA, ulah tak tahu malu para petinggi…. dan sederet catatan
memalukan lainnya.
Hingga
batas yang diberikan oleh FIFA berakhir (10 Desember 2012), belum juga terlihat
langkah positif yang diambil oleh mereka yang menyebut paling berhak mengurus
sepakbola nasional (baik PSSI= Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, maupun
KPSI= Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia).
Kedua
belah pihak bahkan tetap merasa paling benar. Tanggal 10 Desember 2012,
keduanya bahkan keukeuh menggelar
konggres sesuai ego masing-masing, PSSI di Palangkaraya, dan KPSI di Jakarta.
Akibat
dari sikap egois tersebut, sepakbola Indonesia hari-hari ini berada dalam
bayang-bayang sanksi FIFA yang akan diputuskan di Tokyo, 14 Desember mendatang.
Sangat
memalukan memang, hanya karena kedua belah pihak merasa paling benar, nasib
sepakbola Indonesia (yang didalamnya bergantung para pemain, suporter, sponsor,
sampai PKL) menjadi taruhan.
Untuk
‘mereka yang terus bertikai’, tidak adakah sedikit saja rasa bersalah karena
tidak kunjung berprestasi? Jangankan berprestasi, mengatasi kekacauan saja
tidak mampu? Kalau terus seperti ini… kalau masih punya rasa malu, mundur
sajalah. ???
0 komentar:
Posting Komentar