Minggu, 08 Desember 2013



Membaca itu Asyik.

Membaca adalah hobi saya sejak kecil. Sebuah kegemaran yang berlanjut hingga saat ini. Dari kegemaran membaca tersebut, kemudian muncul keinginan untuk menulis. Maka, sejak tahun 2009 saya mulai mencoba untuk menulis cerita dan mengirimkannya ke media dan penerbit.

Tidak mudah menembus penerbit. Sejak tahun 2009, sudah belasan penerbit yang saya kirimi naskah cerita tulisan saya. Dari semua naskah yang saya kirimkan ke penerbit, baru satu naskah yang akhirnya dipajang di toko buku (Menggapai Surga Cinta. 2010). Naskah-naskah yang lain: 2 naskah masih menunggu waktu terbit (sudah lebih dari 1 tahun), satu naskah belum mendapatkan jawaban –diterima atau tidak- (sudah dikirim hampir 6 bulan), dan naskah yang lain hanya tersimpan di harddisc komputer.

Saya bukan satu-satunya penulis pemula yang kesulitan menembus ketatnya seleksi penerbit. Dari beberapa mailing-list (milis) dan komunitas di dunia maya, saya tahu ada banyak sekali penulis –pemula- yang kesulitan untuk menerbitkan buku. Padahal, karya para penulis pemula itu belum tentu tak sebagus para penulis yang sudah ‘terkenal’. Barangkali, hanya masalah kesempatan yang belum datang saja.

Berangkat dari masalah tersebut, saya berkeinginan untuk merintis sebuah usaha penerbitan buku sendiri.



Perencanaan Usaha Penerbitan Buku
Penulis dalam diagram Kiyosaki masuk dalam self employee, pekerja mandiri. Sedangkan penerbit masuk dalam kategori pengusaha. Penerbit adalah suatu jenis usaha, yang diasumsikan terus ada, sehingga tidak bisa menjadi penerbit hanya menerbitkan satu buku saja, kemudian berhenti. Karena membutuhkan waktu, energi dan biaya untuk membangun relasi dan jaringan.
Lalu bagaimana langkah-langkah mendirikan penerbitan ?
Dari berbagai macam diskusi dan pencarian di internet tentang apa saja tahapan untuk mendirikan Penerbitan, berikut ini di antaranya:

1.               Menyiapkan Naskah yang akan Diterbitkan
Langkah pertama ketika hendak merintis penerbitan adalah menyiapkan naskah. Pada jenis usaha lain, naskah bisa diibaratkan sebagai bahan baku produksi, dalam bisnis penerbitan.
Dari mana bisa mendapatkan naskah untuk diterbitkan?
Akan lebih mudah jika sudah punya naskah sendiri untuk diterbitkan. Saat ini banyak penulis yang memilih menerbitkan naskahnya sendiri (self publishing/ indie publishing), dengan alasan lebih mudah menerbitkan sendiri, serta pendapatan (royalti) akan kembali ke penulis semua.
Namun bagi yang tidak punya naskah tulisan sendiri juga tidak perlu khawatir. Saat ini banyak sekali penulis pemula yang mempunyai naskah (bagus) namun kesulitan menembus ‘penerbit besar’. Cukup mempublikasikan pengumuman di internet (blog, facebook, twitter, dsb) akan segera berdatangan naskah dari para penulis pemula. Tinggal kita seleksi mana yang berpotensi disukai pasar (sesuaikan dengan tren yang sedang digemari pembaca).



2.                  Editing, Lay Out dan Desain Cover
Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan desain cover dan lay out (tata letak) buku, serta editing. Jika mampu, kita dapat melakukan pekerjaan ini sendiri. Hal ini tentu akan menghemat biaya produksi. Tapi jika tidak, kita bisa memanfaatkan tenaga desain profesional. Kita bisa minta bantuan tenaga-tenaga editor dan desainer freelance atau orang-orang yang bekerja di perusahaan penerbitan buku. Cara lain untuk mendapat editor dan desainer buku adalah dengan mem-posting pengumuman ke berbagai milis perbukuan.

3.                  Mengurus ISBN dan Membuat Barcode
Langkah ketiga adalah mengurus ISBN (International Standard Book Number) dan selanjutnya membuat barcode. Pada dasarnya, setiap judul buku itu memerlukan identitas yang diakui secara internasional. Caranya adalah dengan mendapatkan nomor ISBN. Cara mendapatkannya sangat mudah, cukup menyiapkan sebuah surat permohonan ISBN yang ditujukan kepada Kepala Perpustakaan Nasional.
Setelah mendapat nomor ISBN, langkah selanjutnya adalah membuat barcode baru. Perpusatakaan Nasional pun dapat melayani pembutan barcode atau membuatnya sendiri dengan memakai program Corel Draw. Tapi, syaratnya telah memperoleh nomor ISBN.

Adapun persyaratan untuk mendapatkan ISBN adalah sebagai berikut:
1.      Membuat surat permohonan kepada Penerbit ISBN, yakni Perpustakaan Nasional.
2.      Mengisi formulir (untuk anggota/ penrtbit baru) untuk mendapatkan nomor Perpusnas.
3.      Melampirkan surat permohonan yang dilengkapi dengan: fotokopi cover buku, halaman judul, halaman kata pengantar, halaman isi, serta lampiran gambar dan tabel (kalau ada)
4.      Selain datang langsung ke Perpusnas, penerbit juga bisa mengajukan pengurusan ISBN secara online (melalui fax).


4.                  Memilih Percetakan yang Tepat

Lamgkah selanjutnya adalah memilih percetakan yang tepat. Meskipun ada banyak jenis pecetakan, sebaiknya kita memilih percetakan yang telah berpengalaman mencetak buku. Jangan sekali-kali memilih percetakan secara sembarangan, apalagi memilih perceakan yang jarang mencetak buku.

5.                  Siapkan Modal yang Cukup
Salah satu hal yang paling penting dalam merintis usaha adalah ketersediaan modal. Tanpa modal, akan sulit –bahkan mustahil- untuk bisa memulai usaha.
Untuk mencetak dan mempromosikan sebuah buku, siapkanlah modal yang cukup. Sebenarnya, kita dapat sangat efisien dalam proses pembuatan penerbitan buku ini. Hanya dengan modal berkisar antara 15 juta sampai 30 juta, kita sudah dapat menerbitkan buku fast book atau buku dengan ukuran standar (14 x 21cm yang ketebalannya antara 150 sampai 200 halaman) dengan oplahnya mencapai 3.000 eksemplar (oplah minimal agar bisa tersebar ke seluruh Indonesia).
Jadi, untuk modal awal paling tidak dibutuhkan dana sekitar 50 juta. Sehingga kita bisa menerbitkan 3 judul buku, dengan asumsi satu judul buku setiap bulan  Karena ketika menerbitkan pertama kali, modal tidak langsung kembali. Beberapa distributor memang memberikan pembayaran setiap bulan, tetapi umumnya distributor baru akan memberikan pembayaran setelah 4 bulan. Jadi, selama 4 bulan itu penerbit harus “berpuasa”. Jika modal hanya satu buku, maka penerbit akan sulit bertahan jika ternyata bukunya tidak langsung best-seller


6.                  Membuat Nama Penerbitan yang Menjual
Langkah ketiga adalah membuat nama penerbitan yang bersifat menjual. Ini adalah salah satu tahap terpenting dan sangat menarik dalam bisnis penerbitan mandiri. Ya, merumuskan nama penerbitan itu sama halnya dengan menciptakan sebuah merek produk. Walaupun bebas memilih nama penerbitan, sebaiknya kita memilih nama penerbitan yang mempunyai makna tertentu dan memiliki nilai jual.
7.                  Menentukan Harga Jual Buku
Sesudah mengetahui biaya mencetak buku dan biaya-biaya yang lain (editing, tata letak, desain cover, dan promosi), maka Anda sudah dapat menentukan harga jual buku yang akan diterbitkan. Lalu, bagaiman caranya? Semua biaya produksi dibagi dengan jumlah oplah buku, kemudian dikalikan enam. Hasilnya inilah yang dipakai sebagai harga jual buku tersebut. (Rumus ini tidak baku, namun sudah umum digunakan oleh para penerbit)
Sebagai contoh, misalkan seluruh biaya produksi untuk satu judul buku adalah 15 juta, maka harga jual yang kita dapatkan adalah:
15.000.000 : 3000 x 6 = 30.000 per eksemplar
8.        Mencari dan Mendapatkan Distributor
Ketika naskah buku naik cetak, wajib hukumnya Anda sudah menemukan distributor buku. Jika telah memiliki distributor buku ketika proses cetak tengah berlangsung, buku yang telah dicetak tersebut dapat langsung dikirim ke gudang distributor. Ingat, distributor buku merupakan salah satu tiang utama dalam bisnis penerbitan.
Setelah sampai di pihak distributor, buku-buku tersebut biasanya dalam waktu seminggu sudah beredar di pasaran, termasuk di toko-toko buku. Sejak saat itulah, merek penerbitan buku kita sudah resmi beredar luas di kalangan umum.
Perhitungan Modal dan Pendapatan Penerbitan Buku
Modal:
Biaya Percetakan (3.000 eks) = 3.000 x Rp. 4.000         = Rp. 12.000.000
Biaya lain-lain (Editing, Lay-out, transportasi, dsb)       = Rp.   3.000.000
Jumlah Biaya                                                                   = Rp.  15. 000.000

Pendapatan/ Penjualan (misal Rp. 30.000/eks)                       =    Rp. 90.000.000
Royalti Penulis (berkisar 7-12%. misal 10 %)             =    Rp.    9.000.000
Distributor (biasanya sekitar 60%, tergantung negosisai)       =    Rp.  54.000.000
Laba (kotor) Penerbit                                                              =    Rp.  27.000.000

Selasa, 24 September 2013




Tidur, selain bertujuan untuk mengistirahatkan diri dari kepenatan aktivitas sehari-hari, juga saat yang tepat untuk mengistirahatkan fisik dan mental. Cukup tidur tak hanya ditentukan dari kuantitas atau lamanya waktu tidur, tetapi juga dari kualitas tidur itu sendiri.

Sampai beberapa bulan yang lalu, ritual tidur saya bisa dikatakan tidak cukup berkualitas. Insomnia menjadi salah satu masalah yang mengganggu. Akibatnya, pada waktu siang saya sering kali merasa cepat lelah. Sebagai penggemar kopi, saya bahkan sampai harus rela menjauhi minuman berkafein itu, terutama saat sore atau menjelang malam.



Setelah browsing sana-sini, akhirnya saya menemukan beberapa tips yang bisa dicoba demi mendapatkan tidur yang nyaman –dan berkualitas. Dan hasilnya, insomnia saya sudah jauh berkurang.

Berikut ini tips-tipsnya:
- Biasakan mandi sebelum tidur. Akan lebih baik lagi jika bisa dengan air hangat, karena bisa merelaksasi saraf-saraf di dalam tubuh dan pikiran.
- Buat jadual yang teratur. Usahakan tidak tidur terlalu larut (di atas jam sepuluh malam).
- Alokasikan waktu setidaknya setengah jam untuk bersantai sebelum waktu tidur.
- Buatlah rutinitas dan ritual sebelum tidur, seperti membersihkan kulit yang diikuti dengan penggunaan produk perawatan tubuh (terutama bagi kaum Hawa), atau membaca buku yang ringan atau kitab suci serta berdoa.
- Pilihlah kasur atau matras yang paling nyaman. Jangan terlalu “ngirit” dalam memilih matras, jika ingin tidur yang berkualitas.
- Kenakan pakaian katun yang longgar untuk tidur.
- Penggunaan kaus kaki saat tidur dapat mempermudah sesorang untuk tidur karena saat tubuh lebih hangat, Anda akan lebih cepat tertidur.
- Jika pikiran sedang sibuk memikirkan masalah tertentu, coba pikirkan momen-momen bahagia atau gunakan teknik visualisasi (Pernah liat cara Mr. Bean mencoba tidur: dengan membayangkan dan menghitung kumpulan domba. :p)


- Hindari gangguan saat tidur dengan menutup pintu kamar, menyetel temperatur kamar senyaman mungkin, tidak terlalu panas atau dingin, serta meminimalisasi cahaya dan suara.
- Jaga rutinitas kapan Anda bangun di pagi hari, bahkan di saat akhir pekan, untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Selasa, 11 Juni 2013



Hari ini,
Setelah tujuh tahun meninggalkan kota ini, untuk pertama kalinya aku ke stasiun ini lagi. Tidak banyak yang berubah dengan stasiun ini. Bahkan kios penjual Koran dan makanan kecil di dalam stasiun masih seperti tujuh tahun silam.
Kumasukkan tiket kereta ekonomi AC ke dalam saku. Sebenarnya aku tidak mempunyai tujuan akan kemana. Aku hanya ingin bernostalgia dengan tempat ini. Mengingat pertemanan singkatku dengan seorang anak, pejuang kehidupan, bernama Ucup.
***

Stasiun ini, tujuh tahun silam.
Kalau bukan karena terpaksa, aku pasti tidak mau berangkat ke sekolah naik KRL.
Usaha ayahku yang sedang bermasalah, hingga berakibat dijualnya beberapa properti keluarga termasuk mobil kami memaksaku untuk berangkat ke sekolah dengan kendaraan umum. Dan KRL menjadi pilihan demi menghindari macet.
Suara petugas informasi dari pengeras suara yang berulang-ulang beradu dengan teriakan pedagang asongan dan nyanyian para pengamen jalanan.
“Permisi Om…” Suara polos seorang bocah laki-laki menyita perhatianku.
Umurnya mungkin sepuluh tahun, penampilannya kumal, seperti kebanyakan anak jalanan yang berkeliaran di stasiun ini. Dia membawa kecrekan, balok kayu sepanjang tiga puluhan senti yang dipaku dan dipasangi beberapa bekas tutup botol yang dipipihkan.
“…. Cukuplah saja berteman denganku
Janganlah kau meminta lebih
Lebih baik kita berteman, kita beteman saja
Teman tapi mesra….”
Mengalunlah lagu Teman Tapi Mesra (TTM)-nya duo Ratu yang sedang populer itu.
Setelah lagunya selesai, anak itu mengedarkan kantong plastik bekas pembungkus permen ke hadapan orang-orang. Beberapa menjatuhkan koin-koin rupiah. Tapi lebih banyak yang acuh, pura-pura tidak tahu dan menolak dengan tatapan jijik.
“Bang!” ucapnya padaku.
Dengan malas, kulambaikan tanganku menolak, seraya bangkit menuju kereta yang baru datang, bersama ratusan penumpang lain.
....
Sorenya, sepulang sekolah.
Cuaca panas membuatku merasa lemas. Tenggorokan pun terasa kering. Segelas minuman dingin tentu nikmat sekali.
“Minum, bang! cuma gopek!” suara itu menyadarkanku.
Seorang bocah laki-laki menyodorkan segelas minuman dingin. Kuterima dan kubayar dengan sekeping lima ratus rupiah. Saat itulah baru kusadari bocah ini adalah bocah pengamen yang tadi pagi menyanyikan TTM-nya Ratu.
“Makasih, bang,” ucapnya riang lalu meninggalkanku.
“Yang Minum… Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” teriaknya dengan suara yang tetap polos.
....
Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan bocah pengamen dan penjual minuman yang entah siapa namanya itu.
Aku baru turun dari KRL sepulang sekolah. Di sudut stasiun kulihat dua orang anak jalanan sedang berkelahi. Saling tendang, saling pukul dan jambak. Tapi tak ada seorang pun yang melerai. Bahkan orang-orang itu malah menyoraki mereka, seolah perkelahian itu adalah sebuah hiburan gratis. Sekilas aku melihat perkelahian itu. Dan... Ah, salah satu anak jalanan yang terlibat perkelahian itu adalah bocah kemarin. Aku meninggalkan tempat itu, tidak mau mencari masalah. Atau berlagak sok jagoan.
....
Beberapa hari kemudian, setelah perkelahian itu, aku tidak melihat bocah pengamen itu lagi.
“Yang Minum… Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” Rasanya aku kenal dengan teriakan itu.
Dan benar, memang anak itu. Tapi… dia memkai setelan merah-putih, bersepatu dan menyandang tas sekolah yang semuanya tampak lusuh. Dalam seragam sekolahnya anak itu masih sempat menjajakan jualan minuman dinginnya.
“Minum, bang! cuma gopek!” Dia menawariku, sama seperti waktu itu.
“Kamu sekolah?” tanyaku penasaran.
Sekilas dia menatapku, lalu menjawab singkat, “Iya.”
....
Mungkin karena sering bertemu, akhirnya aku pun berteman dengan Ucup. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf. Tapi oleh teman-temannya, sesama anak jalanan, dia biasa dipanggil Ucup.
“Gue sekolah karena Bapak Ibu gue, bang!” akunya. “Padahal gue lebih suka ngamen sama jualan.”
“Memangnya kamu nggak ingin jadi orang pintar?” tanyaku klise.
“Kalo kita pintar bisa jadi orang kaya, ya, bang?” tanyanya lugu.
Aku mengangguk. “Apalagi kalau tidak punya iman. Dengan kepintarannya bisa membodohi orang lain… seperti keadaan orang-orang yang mengaku pemimpin kita.”
“Oke, deh,” kata Ucup. “Abang denger nih, ya! Gue akan terus sekolah, bang! Biar Bapak Ibu gue seneng! T’eus gue bisa pinter biar bisa jadi orang kaya!!!”
Stasiun ini menjadi saksi mimpi sederhana Ucup tujuh tahun silam. Juga tekadnya yang besar tak terhingga
***

Sudah hampir setengah jam aku terjebak di dalam kereta ekonomi AC yang harga tiketnya lima kali lipat dari kereta ekonomi biasa ini. Lagi-lagi… gara-gara listrik padam. Aku tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi di luar negri sana, Jepang atau Amerika misalnya. Berapa besar kerugian yang akan terjadi. Itu pun kalau disana memang terjadi.
Tapi di negara kita, listrik padam sehingga KRL macet seperti sudah biasa.  Penumpukan penumpang di stasiun sudah lumrah. Petugas informasi di stasiun yang harus berteriak-teriak memberi informasi pada penumpang dengan TOA juga sudah menganggapnya sebagai resiko pekerjaan.
“Mohon Perhatian!!! Dari jalur tiga akan melintas langsung kereta barang, …..!!!”
Kasihan juga petugas itu. Kalau listrik padam sampai sehari penuh, bisa-bisa besok dia tidak masuk kerja karena tenggorokannya sakit akibat terus berteriak-teriak.
Dari dalam gerbong aku bisa melihat petugas itu. Masih muda. Mungkin masih tujuh belasan tahunan.
Tapi, kok sepertinya aku pernah mengenalnnya. Kuamati lekat-lekat pemuda itu. Dan…
Kereta barang yang tadi diinformasikannya pun melintas.
Aku masih sempat melihat pemuda itu lagi sebelum dia berbalik dan kembali ke ruang kerjanya.
“Tidak salah lagi!” pekikku dalam hati.
Aku ingin keluar dari gerbong ini, dan menemui pemuda petugas informasi itu. Tapi pintu gerbong sudah tertutup, secara otomatis.
Tapi, setidaknya, dari bad yang melekat didadanya aku tahu kalau petugas informasi itu adalah temanku yang hebat, bocah pejuang kehidupan: Ucup.



Jakarta, 17 1010

Halaman Ibnu Shalih © 2013 | Powered by Blogger | Blogger Template by DesignCart.org