Hari ini,
Setelah tujuh
tahun meninggalkan kota
ini, untuk pertama kalinya aku ke stasiun ini lagi. Tidak banyak yang berubah
dengan stasiun ini. Bahkan kios penjual Koran dan makanan kecil di dalam
stasiun masih seperti tujuh tahun silam.
Kumasukkan tiket
kereta ekonomi AC ke dalam saku. Sebenarnya aku tidak mempunyai tujuan akan
kemana. Aku hanya ingin bernostalgia dengan tempat ini. Mengingat pertemanan
singkatku dengan seorang anak, pejuang kehidupan, bernama Ucup.
***
Stasiun ini, tujuh tahun silam.
Kalau bukan
karena terpaksa, aku pasti tidak mau berangkat ke sekolah naik KRL.
Usaha ayahku
yang sedang bermasalah, hingga berakibat dijualnya beberapa properti keluarga
termasuk mobil kami memaksaku untuk berangkat ke sekolah dengan kendaraan umum.
Dan KRL menjadi pilihan demi menghindari macet.
Suara petugas
informasi dari pengeras suara yang berulang-ulang beradu dengan teriakan
pedagang asongan dan nyanyian para pengamen jalanan.
“Permisi Om…”
Suara polos seorang bocah laki-laki menyita perhatianku.
Umurnya mungkin
sepuluh tahun, penampilannya kumal, seperti kebanyakan anak jalanan yang
berkeliaran di stasiun ini. Dia membawa kecrekan,
balok kayu sepanjang tiga puluhan senti yang dipaku dan dipasangi beberapa
bekas tutup botol yang dipipihkan.
“…. Cukuplah saja berteman denganku
Janganlah kau meminta lebih
Lebih baik kita berteman, kita
beteman saja
Teman tapi mesra….”
Mengalunlah lagu
Teman Tapi Mesra (TTM)-nya duo Ratu yang sedang populer itu.
Setelah lagunya
selesai, anak itu mengedarkan kantong plastik bekas pembungkus permen ke
hadapan orang-orang. Beberapa menjatuhkan koin-koin rupiah. Tapi lebih banyak
yang acuh, pura-pura tidak tahu dan menolak dengan tatapan jijik.
“Bang!” ucapnya
padaku.
Dengan malas,
kulambaikan tanganku menolak, seraya bangkit menuju kereta yang baru datang,
bersama ratusan penumpang lain.
....
Sorenya, sepulang sekolah.
Cuaca panas
membuatku merasa lemas. Tenggorokan pun terasa kering. Segelas minuman dingin
tentu nikmat sekali.
“Minum, bang!
cuma gopek!” suara itu menyadarkanku.
Seorang bocah
laki-laki menyodorkan segelas minuman dingin. Kuterima dan kubayar dengan
sekeping lima
ratus rupiah. Saat itulah baru kusadari bocah ini adalah bocah pengamen yang
tadi pagi menyanyikan TTM-nya Ratu.
“Makasih, bang,”
ucapnya riang lalu meninggalkanku.
“Yang Minum…
Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” teriaknya
dengan suara yang tetap polos.
....
Keesokan harinya
aku kembali bertemu dengan bocah pengamen dan penjual minuman yang entah siapa
namanya itu.
Aku baru turun
dari KRL sepulang sekolah. Di sudut stasiun kulihat dua orang anak jalanan
sedang berkelahi. Saling tendang, saling pukul dan jambak. Tapi tak ada seorang
pun yang melerai. Bahkan orang-orang itu malah menyoraki mereka, seolah
perkelahian itu adalah sebuah hiburan gratis. Sekilas aku melihat perkelahian
itu. Dan... Ah, salah satu anak jalanan yang terlibat perkelahian itu adalah
bocah kemarin. Aku meninggalkan tempat itu, tidak mau mencari masalah. Atau
berlagak sok jagoan.
....
Beberapa hari
kemudian, setelah perkelahian itu, aku tidak melihat bocah pengamen itu lagi.
“Yang Minum…
Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” Rasanya aku
kenal dengan teriakan itu.
Dan benar,
memang anak itu. Tapi… dia memkai setelan merah-putih, bersepatu dan menyandang
tas sekolah yang semuanya tampak lusuh. Dalam seragam sekolahnya anak itu masih
sempat menjajakan jualan minuman dinginnya.
“Minum, bang!
cuma gopek!” Dia menawariku, sama
seperti waktu itu.
“Kamu sekolah?”
tanyaku penasaran.
Sekilas dia
menatapku, lalu menjawab singkat, “Iya.”
....
Mungkin karena
sering bertemu, akhirnya aku pun berteman dengan Ucup. Nama lengkapnya Muhammad
Yusuf. Tapi oleh teman-temannya, sesama anak jalanan, dia biasa dipanggil Ucup.
“Gue sekolah
karena Bapak Ibu gue, bang!” akunya. “Padahal gue lebih suka ngamen sama
jualan.”
“Memangnya kamu
nggak ingin jadi orang pintar?” tanyaku klise.
“Kalo kita
pintar bisa jadi orang kaya, ya, bang?” tanyanya lugu.
Aku mengangguk.
“Apalagi kalau tidak punya iman. Dengan kepintarannya bisa membodohi orang
lain… seperti keadaan orang-orang yang mengaku pemimpin kita.”
“Oke, deh,” kata
Ucup. “Abang denger nih, ya! Gue akan terus sekolah, bang! Biar Bapak Ibu gue
seneng! T’eus gue bisa pinter biar bisa jadi orang kaya!!!”
Stasiun ini menjadi saksi mimpi sederhana
Ucup tujuh tahun silam. Juga tekadnya yang besar tak terhingga
***
Sudah hampir
setengah jam aku terjebak di dalam kereta ekonomi AC yang harga tiketnya lima kali lipat dari
kereta ekonomi biasa ini. Lagi-lagi… gara-gara listrik padam. Aku tidak bisa
membayangkan jika hal ini terjadi di luar negri sana, Jepang atau Amerika misalnya. Berapa
besar kerugian yang akan terjadi. Itu pun kalau disana memang terjadi.
Tapi di negara
kita, listrik padam sehingga KRL macet seperti sudah biasa. Penumpukan penumpang di stasiun sudah lumrah.
Petugas informasi di stasiun yang harus berteriak-teriak memberi informasi pada
penumpang dengan TOA juga sudah menganggapnya sebagai resiko pekerjaan.
“Mohon Perhatian!!!
Dari jalur tiga akan melintas langsung kereta barang, …..!!!”
Kasihan juga
petugas itu. Kalau listrik padam sampai sehari penuh, bisa-bisa besok dia tidak
masuk kerja karena tenggorokannya sakit akibat terus berteriak-teriak.
Dari dalam
gerbong aku bisa melihat petugas itu. Masih muda. Mungkin masih tujuh belasan
tahunan.
Tapi, kok sepertinya
aku pernah mengenalnnya. Kuamati lekat-lekat pemuda itu. Dan…
Kereta barang
yang tadi diinformasikannya pun melintas.
Aku masih sempat
melihat pemuda itu lagi sebelum dia berbalik dan kembali ke ruang kerjanya.
“Tidak salah
lagi!” pekikku dalam hati.
Aku ingin keluar
dari gerbong ini, dan menemui pemuda petugas informasi itu. Tapi pintu gerbong
sudah tertutup, secara otomatis.
Tapi,
setidaknya, dari bad yang melekat didadanya
aku tahu kalau petugas informasi itu adalah temanku yang hebat, bocah pejuang
kehidupan: Ucup.
Jakarta,
17 1010