Lebih
kurang 28 tahun silam, tatkala mendiang Prof. Dr. Baharuddin Lopa masih
menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, panggung hukum
Indonesia geger oleh munculnya sosok Lopa yang jujur, antikorupsi, dan nyali
bak harimau. Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam
dan putih. Benar atau salah.
Ada
banyak cerita tentang kejujuran mantan Jaksa Agung (2001) dan mantan Menteri
Kehakiman (2001) ini. Ketika Lebaran menjelang, ia tegaskan kepada anak buahnya
untuk tidak menerima parsel Lebaran. Ia menggelar jumpa pers yang di antaranya
mengumumkan, seluruh aparat kejaksaan Sulawesi Selatan tidak terima hadiah
dalam brntuk apa pun.
Ketika
tiba di rumah, ia melihat ada dua parsel di rumahnya. “Eh, siapa yang kirim
parsel ke sini,” ucap Lopa dengan raut masam. Seisi rumah bungkam karena tahu
Lopa geram. Lopa kemudian sangat terkejut ketika melihat salah satu parsel
tersingkap 10 cm. “Aduh, siapa yang membuka parsel ini?”
Seorang
putrinya maju ke depan dan dengan jujur menyatakan dialah yang buka dan
mengambil sebuah cokelat. “Mohon maaf Ayah,” ujar anak perempuan itu. Lopa
menghela napas, ia tidak bisa marah kepada putrinya, tetapi tidak urung ia
memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu lagi. Pria mandar ini menyuruh
putranya membeli cokelat dengan ukuran dan jenis yang sama. Cokelat itu
dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera dikembalikan kepada pengirimnya.
Suatu
hari ia bercakap-cakap dengan istrinya dan mengajak istrinya menghitung
tabungan mereka. “Oh, uang itu sudah cukup untuk uang muka mobil Toyota
Kijang,” ujar Lopa.
Maka
datanglah ia ke distributor mobil di Makassar. Ia langsung menemui direktur
utama perusahaan itu. Lopa menyampaikan keinginannya membeli mobil dengan uang
muka sekian rupiah, sisanya dicicil. Sang dirut menawarkan diskon yang biasa ia
berikan kepada kawan-kawannya.
Lopa
terkejut ketika tahu besaran diskonnya. Sebab bagi dia, diskon lebih dari 3
persen dari harga barang sudah melampaui batas kepantasan. Saudagar tersebut
menyatakan, “Saya penjual, saya hendak beri berapa persen diskonnya, kan,
terserah saya, bukankah itu wilayah saya?”
Lopa
tetap menolak dan menyatakan diskon hanya 3 persen. Akhirnya, usahawan itu
mengalah dan menerima keinginan Lopa.Belakangan, urusan ini membuat ia kikuk
karena setiap bulan Lopa datang sendiri menyetor cicilannya. Dan penyetoran itu
jauh sebelum tanggal jatuh tempo. Bukan apa-apa, Lopa adalah temannya, ia kikuk
harus menerima cicilan langsung dari teman dekat selama bertahun-tahun. Akan
tetapi ia menghormati Lopa yang memegang teguh prinsip hukum yang “serba hitam
putih” itu.
Cerita
tentang Lopa yang jujur menjadi semacam legenda di panggung hukum nasional.
Suatu hari, ia hendak menunaikan ibadah haji. Seorang Teman sekolahnya sejak SD
hingga perguruan tinggi, yang sukses sebagi pengusaha, memberinya 10.000 dollar
AS. Lopa terkejut dengan pemberian ini. Pada kesempatan pertama ia datang ke
rumah temannya dan mengembalikan uang itu. Lopa berkata, “Saya tahu engkau
ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus.
Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja,
ya.” Pengusaha itu tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya
karena terharu.
Lopa
mengungkapkan, seorang penegak hukum mutlak berintegritas. Ia boleh hidup
ekstra sederhana, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan menerima apa pun dari
siapa pun. “Banyak di antara masyarakat tidak menyadari, tegaknya hukum
menentukan kinerja ekonomi. Sebab, munculnya supremasi hukum akan membuat
pelaku bisnis tenang. Kalaupun bisnisnya “diusik”, para pebisnis itu akan
tenang karena ada hukum. Jaksa akan menjalankan tugasnya dengan baik-baik dan
hakim akan menjatuhkan vonis yang sesuai hukum dan rasa keadilan.”
Lopa
benar. Lihatlah, semua negara yang ekonominya maju, praktik hukumnya pasti
baik. Kita masih jauh dari pelaksanaan hukum yang ideal. Hukum masih
dipermainkan kekuasaan, mafia peradilan, dan aparat yang tidak jujur.
Betapa
kita tidak pening oleh demikian banyak aparat penegak hukum sendiri ditahan,
diadili, dan kemudian dipenjarakan karena terbukti melawan hukum. Bagaimana
pula negeri ini bisa dipercaya para investor dan pelaku ekonomi dalam negeri
kalau demikian banyak pejabat negara menjadi terdakwa. Mereka tidak sadar,
perbuatannya menahan laju pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak paham bahwa
tegaknya hukum sama dengan mulusnya perekonomian.
Sederhananya
seperti ini. Apakah ada pedagang yang berani memalsukan merek kalau hukum
menjadi panglima? Adakah pebisnis yang mengelak membayar pajak? Apakah ada
pelaku ekonomi berani memalsukan akta tanah? (ABUN SANDA)
0 komentar:
Posting Komentar