Rasulullah
Muhammad Saw. adalah sosok manusia yang sempurna. Di medan perang, beliau
adalah seorang jenderal tangguh, yang menguasai taktik dan strategi bertempur.
Di tengah masyarakat, beliau adalah teman, sahabat, guru dan pemimpin yang
menyenangkan. Di rumah, beliau adalah kepala keluarga yang bisa mendatangkan rasa aman, kasih sayang
sekaligus kebahagiaan.
Rasulullah
Saw. adalah sosok yang romantis. Beliau biasa memanggil istri beliau, Asisyah
ra. Dengan panggilan yang indah : “Ya
Humaira!” (Wahai, si Merah Jambu!) Wanita mana yang tidak akan tersanjung
dipanggil kekasihnya dengan panggilan seperti itu?
Tapi,
keindahan itu tercipta bukan karena beliau ahli merayu, melainkan karena hati
beliau yang memang bersih, bening dan indah. Dari hati yang indah itulah keluar
kata-kata, perilaku dan sikap yang indah pula.
Para sahabat
yang hidup di masa Rasullah Saw. telah banyak menyampaikan betapa indah
hari-hari bersama beliau. Romantisme tidak hyanya berlaku bagi keluarga beliau
semata, para sahabat dan umat Islam, bahkan seluruh makhluk Allah Swt. lainnya
pun turut merasakannya.
Begitu dekat
Rasulullah Saw. dengan seluruh unsur alam. Ketika melihat sekuntum bunga yang
mulai terbuka kelopaknya, kalbu beliau bergetar, hati beliau bersuka cita,
beliau mendekat, mencium dan mengusaonya dengan penuh kasih sayang, sambil
mengucapkan: “ aamu khairin wa barakatin,
Insya Allah!” (Tahun baik dan penuh berkah, Insya Allah!)
Begitu pun
saat melihat bulan sabit di awal-awal malam kemunculannya. Tak lupa beliau
menyambut dengan suka cita dan optimis. Beliau mengucap: “Hilaalu khairin wa
barakatin!” (awal bulan yang baik dan penuh berkah!)
Setelah
menyambut dengan suka cita, beliau lalu berdoa: “Allahumma ahillahu ‘alaina
bilyumni wal iimaani wassaalamati wal Islaami!” ( Ya, Allah! Jadikan permulaan
bulan ini membawa keuntungan, iman, keselamatan dan Islam)
Lalu….
Apa beanya
bulan yang ditatap Rasulullah Saw. empat belas abad yang lalu dengan bulan yang
kita lihat sekarang?
Bukan
bulannya yang berbeda, tapi –mungkin- cara pandang kita dengan cara pandang
Rasulullah Saw. yang berbeda. Rasulullah memandangnya dengan cahaya iman
(keyakinan) sedang kita –mungkin- melihatnya dengan hati ragu. Rasululah Saw.
melihat di di balik –kemunculan- bulan ada kebesaran Allah, sedang –banyak di
antara- kita melihat bulan tidak lebih dari sekedar materi (benda langit).
Rasulullah Saw. melihat bulan dari perspektif waktu yang akan datang (dengan
visi), sedang kita melihatnya dengan ‘menghiting hari’.
Jadi…..
Saat ini
kita berada di akhir bulan dzulhijjah –akhir tahun- 1433 H. Beberapa hari lagi
kita akan menyambut kemunculan bulan –dan tahun baru, Muharram 1434 H. Mari
jadikan momen ini untuk mulai melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw…. Mari sambut masa depan, dengan menjadi PRIBADI –YANG SELALU- POSITIF.
0 komentar:
Posting Komentar