Selasa, 11 Juni 2013



Hari ini,
Setelah tujuh tahun meninggalkan kota ini, untuk pertama kalinya aku ke stasiun ini lagi. Tidak banyak yang berubah dengan stasiun ini. Bahkan kios penjual Koran dan makanan kecil di dalam stasiun masih seperti tujuh tahun silam.
Kumasukkan tiket kereta ekonomi AC ke dalam saku. Sebenarnya aku tidak mempunyai tujuan akan kemana. Aku hanya ingin bernostalgia dengan tempat ini. Mengingat pertemanan singkatku dengan seorang anak, pejuang kehidupan, bernama Ucup.
***

Stasiun ini, tujuh tahun silam.
Kalau bukan karena terpaksa, aku pasti tidak mau berangkat ke sekolah naik KRL.
Usaha ayahku yang sedang bermasalah, hingga berakibat dijualnya beberapa properti keluarga termasuk mobil kami memaksaku untuk berangkat ke sekolah dengan kendaraan umum. Dan KRL menjadi pilihan demi menghindari macet.
Suara petugas informasi dari pengeras suara yang berulang-ulang beradu dengan teriakan pedagang asongan dan nyanyian para pengamen jalanan.
“Permisi Om…” Suara polos seorang bocah laki-laki menyita perhatianku.
Umurnya mungkin sepuluh tahun, penampilannya kumal, seperti kebanyakan anak jalanan yang berkeliaran di stasiun ini. Dia membawa kecrekan, balok kayu sepanjang tiga puluhan senti yang dipaku dan dipasangi beberapa bekas tutup botol yang dipipihkan.
“…. Cukuplah saja berteman denganku
Janganlah kau meminta lebih
Lebih baik kita berteman, kita beteman saja
Teman tapi mesra….”
Mengalunlah lagu Teman Tapi Mesra (TTM)-nya duo Ratu yang sedang populer itu.
Setelah lagunya selesai, anak itu mengedarkan kantong plastik bekas pembungkus permen ke hadapan orang-orang. Beberapa menjatuhkan koin-koin rupiah. Tapi lebih banyak yang acuh, pura-pura tidak tahu dan menolak dengan tatapan jijik.
“Bang!” ucapnya padaku.
Dengan malas, kulambaikan tanganku menolak, seraya bangkit menuju kereta yang baru datang, bersama ratusan penumpang lain.
....
Sorenya, sepulang sekolah.
Cuaca panas membuatku merasa lemas. Tenggorokan pun terasa kering. Segelas minuman dingin tentu nikmat sekali.
“Minum, bang! cuma gopek!” suara itu menyadarkanku.
Seorang bocah laki-laki menyodorkan segelas minuman dingin. Kuterima dan kubayar dengan sekeping lima ratus rupiah. Saat itulah baru kusadari bocah ini adalah bocah pengamen yang tadi pagi menyanyikan TTM-nya Ratu.
“Makasih, bang,” ucapnya riang lalu meninggalkanku.
“Yang Minum… Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” teriaknya dengan suara yang tetap polos.
....
Keesokan harinya aku kembali bertemu dengan bocah pengamen dan penjual minuman yang entah siapa namanya itu.
Aku baru turun dari KRL sepulang sekolah. Di sudut stasiun kulihat dua orang anak jalanan sedang berkelahi. Saling tendang, saling pukul dan jambak. Tapi tak ada seorang pun yang melerai. Bahkan orang-orang itu malah menyoraki mereka, seolah perkelahian itu adalah sebuah hiburan gratis. Sekilas aku melihat perkelahian itu. Dan... Ah, salah satu anak jalanan yang terlibat perkelahian itu adalah bocah kemarin. Aku meninggalkan tempat itu, tidak mau mencari masalah. Atau berlagak sok jagoan.
....
Beberapa hari kemudian, setelah perkelahian itu, aku tidak melihat bocah pengamen itu lagi.
“Yang Minum… Dingin-dingin! Aqua gelas! Teh gelas! Teh Botol! Dingin-dingin…!” Rasanya aku kenal dengan teriakan itu.
Dan benar, memang anak itu. Tapi… dia memkai setelan merah-putih, bersepatu dan menyandang tas sekolah yang semuanya tampak lusuh. Dalam seragam sekolahnya anak itu masih sempat menjajakan jualan minuman dinginnya.
“Minum, bang! cuma gopek!” Dia menawariku, sama seperti waktu itu.
“Kamu sekolah?” tanyaku penasaran.
Sekilas dia menatapku, lalu menjawab singkat, “Iya.”
....
Mungkin karena sering bertemu, akhirnya aku pun berteman dengan Ucup. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf. Tapi oleh teman-temannya, sesama anak jalanan, dia biasa dipanggil Ucup.
“Gue sekolah karena Bapak Ibu gue, bang!” akunya. “Padahal gue lebih suka ngamen sama jualan.”
“Memangnya kamu nggak ingin jadi orang pintar?” tanyaku klise.
“Kalo kita pintar bisa jadi orang kaya, ya, bang?” tanyanya lugu.
Aku mengangguk. “Apalagi kalau tidak punya iman. Dengan kepintarannya bisa membodohi orang lain… seperti keadaan orang-orang yang mengaku pemimpin kita.”
“Oke, deh,” kata Ucup. “Abang denger nih, ya! Gue akan terus sekolah, bang! Biar Bapak Ibu gue seneng! T’eus gue bisa pinter biar bisa jadi orang kaya!!!”
Stasiun ini menjadi saksi mimpi sederhana Ucup tujuh tahun silam. Juga tekadnya yang besar tak terhingga
***

Sudah hampir setengah jam aku terjebak di dalam kereta ekonomi AC yang harga tiketnya lima kali lipat dari kereta ekonomi biasa ini. Lagi-lagi… gara-gara listrik padam. Aku tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi di luar negri sana, Jepang atau Amerika misalnya. Berapa besar kerugian yang akan terjadi. Itu pun kalau disana memang terjadi.
Tapi di negara kita, listrik padam sehingga KRL macet seperti sudah biasa.  Penumpukan penumpang di stasiun sudah lumrah. Petugas informasi di stasiun yang harus berteriak-teriak memberi informasi pada penumpang dengan TOA juga sudah menganggapnya sebagai resiko pekerjaan.
“Mohon Perhatian!!! Dari jalur tiga akan melintas langsung kereta barang, …..!!!”
Kasihan juga petugas itu. Kalau listrik padam sampai sehari penuh, bisa-bisa besok dia tidak masuk kerja karena tenggorokannya sakit akibat terus berteriak-teriak.
Dari dalam gerbong aku bisa melihat petugas itu. Masih muda. Mungkin masih tujuh belasan tahunan.
Tapi, kok sepertinya aku pernah mengenalnnya. Kuamati lekat-lekat pemuda itu. Dan…
Kereta barang yang tadi diinformasikannya pun melintas.
Aku masih sempat melihat pemuda itu lagi sebelum dia berbalik dan kembali ke ruang kerjanya.
“Tidak salah lagi!” pekikku dalam hati.
Aku ingin keluar dari gerbong ini, dan menemui pemuda petugas informasi itu. Tapi pintu gerbong sudah tertutup, secara otomatis.
Tapi, setidaknya, dari bad yang melekat didadanya aku tahu kalau petugas informasi itu adalah temanku yang hebat, bocah pejuang kehidupan: Ucup.



Jakarta, 17 1010

Tagged:

0 komentar:

Posting Komentar

Halaman Ibnu Shalih © 2013 | Powered by Blogger | Blogger Template by DesignCart.org