Tersingkir
dari penyisihan grup PPD 2014 tanpa poin, Terperosok ke peringkat 168 FIFA
(Bulan September 2012), menurunnya dukungan supporter terhadap timnas….. adalah
sebagian catatan merah yang ditorehkan sepakbola Indonesia setahun terakhir.
PSSI
(Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) sebagai organisai induk sepakbola di
tanah air, oleh banyak pihak, dianggap paling bertanggung jawab terhadap
catatan buruk itu.
Sejak
era kepemimpinan Nurdin Halid, banyak pihak yang menganggap PSSI mmang sudah
bermasalah, mulai dari isu pengaturan skor, politisasi sepakbola nasional
sampai korupsi yang dilakukan pengurus PSSI. Puncaknya adalah desakan dari klub-klub
dan masyarakat umum agar Nurdin cs. segera dilengserkan.
Akhirnya,
melalui Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang digelar di Solo 9 Juli 2011, Nurdin
Halid berhasil diturunkan. Sebagai gantinya
Prof. Djohar Arifin Husin terpilih untuk memimpin PSSI.
Masyarakat
sempat menaruh harapan besar pada Djohar. Banyak janji yang diungkapkan oleh Djohar sesaat setelah ia
terpilih. Salah satunya adalah membenahi kompetisi agar mampu berjalan lebih
profesional.
Namun di tengah-tengah harapan besar para pecinta sepak bola tanah air, Djohar justru mengeluarkan keputusan-keputusan kontroversial. Empat hari setelah terpilih, Djohar secara mengejutkan memecat pelatih Timnas, Alfred Riedl. Alasannya, pelatih asal Austria tersebut tidak pernah menandatangani kontrak resmi dengan PSSI. Keputusan ini sontak dikecam berbagai kalangan. Riedl menilai kalau dirinya disingkirkan karena dianggap bagian dari pengurus lama.
Sebagai pengganti Riedl, Djohar menunjuk mantan pelatih PSM Makassar, Wim Rijsbergen. Pelatih asal Belanda itu diberi tanggung jawab untuk menangani Bambang Pamungkas dkk.
Kehadiran Wim di tubuh timnas kembali diwarnai kontoversi luas usai Timnas menelan kekalahan dari Bahrain pada babak penyisihan PPD 2014. Sikap Wim yang terkesan menyalahkan pemain sempat membuat suasana di Timnas memanas. Beberapa pemain bahkan mengancam mogok bila masih ditangani Wim.
Kemampuan Wim dalam meramu strategi juga jadi sorotan. Ini setelah Indonesia menelan tiga kekalahan beruntun di penyisihan Grup E PPD 2014, masing-masing saat melawan tuan rumah Iran (0-3), Bahrain (0-2), dan lawan Qatar (2-3).
Namun di tengah-tengah harapan besar para pecinta sepak bola tanah air, Djohar justru mengeluarkan keputusan-keputusan kontroversial. Empat hari setelah terpilih, Djohar secara mengejutkan memecat pelatih Timnas, Alfred Riedl. Alasannya, pelatih asal Austria tersebut tidak pernah menandatangani kontrak resmi dengan PSSI. Keputusan ini sontak dikecam berbagai kalangan. Riedl menilai kalau dirinya disingkirkan karena dianggap bagian dari pengurus lama.
Sebagai pengganti Riedl, Djohar menunjuk mantan pelatih PSM Makassar, Wim Rijsbergen. Pelatih asal Belanda itu diberi tanggung jawab untuk menangani Bambang Pamungkas dkk.
Kehadiran Wim di tubuh timnas kembali diwarnai kontoversi luas usai Timnas menelan kekalahan dari Bahrain pada babak penyisihan PPD 2014. Sikap Wim yang terkesan menyalahkan pemain sempat membuat suasana di Timnas memanas. Beberapa pemain bahkan mengancam mogok bila masih ditangani Wim.
Kemampuan Wim dalam meramu strategi juga jadi sorotan. Ini setelah Indonesia menelan tiga kekalahan beruntun di penyisihan Grup E PPD 2014, masing-masing saat melawan tuan rumah Iran (0-3), Bahrain (0-2), dan lawan Qatar (2-3).
Akhirnya, PSSI memang mengganti Wim
–pasca Wim Timnas ditangani oleh Nil Maizar- namun permainan menawan Timnas
seperti yang diperlihatkan dalam AFF dibawah Riedl tidak lagi terlihat. Dalam
beberapa ajang internasional dan persahabatan Timnas nyaris selalu mengalami
kekalahan.
Salah satu penyebabnya adalah pemilihan
pemain-pemain baru Timnas yang hanya berasal dari kompetisi Liga Primer
Indonesia (LPI). Sementara pemain-pemain yang sudah mempunyai jam terbang lebih
tinggi –hampir seluruhnya bermain di klub-klub Liga Super Indonesia (LSI)-
tidak masuk skuad Timnas, karena PSSI Djohar tidak mengakui LSI.
Selain memecat Riedl, di awal masa
kepemimpinannya Djohar telah berani mengambil langkah paling kontroversial,
yaitu mendukung liga baru yang digagas oleh pengusaha-politisi Arifin Panigoro
(AP), dengan nama Liga Primer Indonesia. Semula LPI dibentuk sebagai tandingan
dari LSI Nurdin Halid yang dinilai penuh masalah.
Sayangnya, LPI yang konon lebih
bersih itu, berakhir mengenaskan. Setelah AP berhasil mendapatkan posisi
penting di PSSI (dengan meletakkan Djohar Arifin Husin, koleganya sebagai
ketua), liga bentukan AP pun berakhir begitu saja hanya dalam setengah putaran.
Persebaya 1927 yang menjadi pemuncak klasemen tidak mendapatkan gelar juara
liga.
Pasca PSSI baru terbentuk dan
kompetisi siap bergulir, muncullah masalah. PSSI dan klub memiliki penafsiran
berbeda terhadap status klub-klub LPI. Awalnya, ada agenda bahwa klub-klub ini
dirangkul. PSSI menerjemahkannya dengan menggabungkan 6 klub sisa LPI ke dalam
kompetisi. Sehingga jumlah klub yang akan berlaga di kompetisi menjadi 24 dari
sebelumnya yang berjumlah 18 klub.
Masalah pun muncul. Klub-klub
LSI kebanyakan tidak mau menerima 6 klub tadi. Mereka berdalih, jika caranya
seperti ini, PSSI telah melanggar statuta yang dibuat mereka sendiri (dibuat
saat Nurdin Halid masih “memerintah”). Rasanya janggal jika melihat sebuah klub
yang tidak ada dalam kompetisi, langsung masuk ke divisi teratas. Sementara,
klub-klub lain yang ada dalam kompetisi tadi, berjuang mati-matian untuk lolos
ke divisi tertinggi.
Kegagalan PSSI meredam protes
dari klub-klub ini, ditunjang oleh beberapa faktor lain. Misalnya, PSSI
melegalkan Persija versi LPI yang berbeda dengan Persija versi LSI. Kasus yang
sama juga berlaku untuk Arema yang terbelah menjadi Arema LPI dan Arema LSI.
Maka, pada musim kompetisi
2012-2013. Liga di Indonesia terpecah menjadi dua kubu: Liga Primer Indonesia
yang diakui PSSI Djohar, dan Liga Super Indonesia, yang dianggap illegal.
Bukan hanya liga, beberapa klub
peserta kompetisi pun ikut terpecah belah. Arema, Persija, PSMS Medan,
Persebaya (Persebaya DU-LSI dan Persebaya 1927), Persib (Persib LSI dan Bandung
FC) serta klub-klub lain.
Klub-klub di ISL (Indonesia
Super League) pun tidak mau tinggal diam. Karena merasa terzhalimi oleh PSSI di
bawah kepemimpinan Djohar, beberapa Pengprov yang tergabung dalam Komite
Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) menggelar KLB di Ancol. Hasilnya.
Terpilihlah La Nyalla Mattaliti, mantan anggota exxco PSSI Djohar, sebagai ketua
KPSI (Kubu ini juga beranggapan sebagai PSSI yang sah).
Tidak berhenti di situ, KPSI –atau
PSSI KLB- kemudian juga membentuk Timnas sendiri. Sebagai pelatih, ditunjuklah
kembali Alfred Riedl.
Kisruh yang melanda sepakbola
Indonesia akhirnya sampai ke perwakilan FIFA di AFC. AFC kemudian membentuk suatu
komisi bersama atau Joint Comittee
(JC) yang beranggotakan wakil dari PSSI Djohar dan PSSI La Nyalla.
JC direncanakan akan kembali
menggelar KLB pada bulan November nanti. Padahal beberapa kompetisi internasional
sudah menanti Timnas dalam waktu dekat. Sebut saja Piala AFF yang akan dimulai
November 2012 di Malaysia dan Thailand.
Kita berharap, saat gelaran
penuh gengsi itu dimulai, kisruh dan perpecahan yang dialami sepakbola
Indonesia telah dapat diselesaikan dengan baik. Tapi kalau tidak….
Timnas yang mana yang akan
mewakili Indonesia?
Lalu bagaimana sepakbola
Indonesia mau berprestasi, kalau seperti ini?
0 komentar:
Posting Komentar